Berita

Berita Thumbnail
Rabu, 10 Mei 2017
Oleh: Admin

Seminar Nasional Heritage SOLUSI MEMBANGUN TANPA MENGHILANGKAN CAGAR BUDAYA

Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia, Universitas Trisakti, Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta mengadakan seminar, workshop dan city tour Cirebon (3-5 Mei 2017).

Acara ini mengangkat tema “Tangible & Intangible Aspect” dihadiri sekitar 200 peserta dari  kalangan akademisi  berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan para praktisi. Panitia menghadirkan pembicara yang  sangat kompeten dibidangnya yakni  Harry Widianto, Direktur Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman  Kemendikbud, Abidin Aslich, Staf Ahli Hukum dan Politik Pemerintah Kota Cirebon, P.R.A. Arief Natadiningrat, SE, Sultan Kasepuhan XIV Cirebon, Mustaqim Asteja, Komunitas Pusaka Cirebon Kendi Pertula, Widjaja Martokusumo, Dekan Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan ITB.Pada saat workshop pemateri yang tampil Dr. Ir. Harastoeti Dibyo Hartono, MSA, Dr. Eng Arif Sarwo Wibowo, ST, MT dan Ir. Arya Abieta, IAI.

 

Kegiatan hari pertama dibagi dalam tiga sesi masing-masing seminar heritage dihadiri pembicara 86 orang, pemakalah 80 orang dan hadir sebagai peserta 15 orang. Usai acara diisi  dengan hiburan berupa penampilan kesenian khas Cirebon,  Tari Sintren dilanjutkan ramah tamah antar peserta. Pada hari kedua workshop membahas tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya yang dihadiri 40 peserta dan Sarasehan Arsitektur Nusantara  diikuti 55 peserta. Kegiatan City Tour Cirebon Heritage dilaksanakan pada hari ke 3  diikuti 50 peserta mengunjungi berbagai objek penting di Kota Cirebon antara lain  Masjid Merah Panjunan, Keraton Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Gua Sunyaragi, Pemukiman Ki Buyut Trusmi dan Wisata Batik Trusmi.

 

Berangkat dari kepedulian dan penghargaan terhadap aset bangsa dan negara agar terjaga kelestariannya dan lebih berdaya guna, Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan (IPLBI) beserta beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Cirebon berkolaborasi menyelenggarakan seminar dan workshop yang sukses terselenggara pada minggu pertama bulan Mei 2017. Inti dari seminar tersebut adalah pemahaman bahwa pelestarian bukan hanya sekedar melindungi sifat dan bentuknya, tapi juga upaya mengelola pemanfaatan termasuk mengelola lingkungan sekitarnya dan menjaganya dari berbagai bentuk gangguan.Sehingga konservasi diartikan bukan hanya semata-mata terhadap bangunannya saja tetapi juga terhadap kawasannya (lansekap). Oleh karena itu upaya pelestarian harus dilakukan secara menyeluruh dan terus menerus sehingga menimbulkan efek bola salju. Kegiatan tersebut sekaligus juga sebagai langkah untuk menghimpun berbagai masukan dan pola pikir ilmiah dari berbagai disiplin ilmu, yang akan disumbangkan kepada pemerintah. Disisi lain penyelenggaraan ”workshop” bertujuan untuk memperoleh metoda dalam melakukan penilaian terhadap cagar budaya, sehingga peserta mampu menerapkan sistem perlindungan secara sistematis (grading system) terhadap obyek cagar budaya pada suatu wilayah.Melalui pertemuan seperti ini dapat meningkatkan interaksi dan komunikasi antar dosen, peneliti dan masyarakat umum serta pengambil kebijakansehingga dapat mendorong terjadinya kegiatan pengembangan, akumulasi, penyebaran atau penerapan pengetahuan secara kolektif, kolaboratif, multi-perspektif dan sinergis.

 

Diharapkan pertemuan tersebut dapat mewujudkan pelaksanaan pelestarian cagar budaya di Indonesia secara lebih efisien (hemat waktu, tenaga dan biaya) dan efektif (memberikan hasil yang optimal). Dalam sambutannya Sultan Kasepuhan XIV Cirebon P.R.A. Arief Natadiningrat, SE sangat mengapresiasi kegiatan seminar heritage ini, karena kota Cirebon sebagai bumi para wali, pusat heritage  selama ini tidak dilirik dan hanya dilihat sebelah mata oleh sebagian masyarakat Indonesia  bahkan oleh Pemda Cirebon sendiri, padahal sebenarnya di Kota Cirebon banyak peninggalan leluhur berupa heritage dari kerajaan Tarumanagara, Indra Prahasta, Kerajaan Sunda Panjalu, Pajajaran sampai kesultanan Cirebon. Banyak artefak-artefak peninggalan sejarah yang sangat lengkap, seperti di era sebelum, era Sunan Gunung Jati maupun era sesudahnya. “Kota Cirebon sejak abad XV sudah dikenal sebagai jalur perdagangan sutra dunia dari Tiongkok, India, Persia dan negara-negara Eropa lainnya, sehingga disini banyak kapal-kapal muatan yang tenggelam di laut utara Cirebon yang menurut data dinas pubakala jumlahnya mencapai 400  kapal dengan muatan  harta karun dan  baru terangkat dua  kapal pada tahun 2009. Harta karun yang diangkat dilelang di Singapura terjual seharga 900 milyar. Banyak kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung, Semarang heritagenya hanya peninggalan-peninggalan kolonial saja, tidak seperti Cirebon yang banyak peninggalan-peninggalan kuno seperti besi-besi tua yang usianya 400 hingga 600 tahun, masjid-masjid kuno yang sampai saat ini masih berfungsi dan masih digunakan oleh masyarakat. Dan pada masa kejayaan Cirebon awal abad ke 19 pernah menjadi pengekspor gula terbesar  dunia dengan adanya 10 pabrik gula di Cirebon, ini juga merupakan salah satu heritage,” jelas Sultan Kasepuhan XIV Cirebon. Dalam sambutannya tersebut, sultan juga menjelaskan banyak  benda-benda pusaka yang bisa dilihat oleh umum di museum. Namun ada juga benda pusaka yang tidak boleh diperlihatkan kepada umum karena hanya Sultan saja  yang bisa melihat sekaligus  merawatnya karena statusnya sebagai putra mahkota. Banyak naskah-naskah kuno yang tersebar di berbagai wilayah Kota  Cirebon yang jumlahnya tidak kurang dari 150 naskah  terbuat dari daluang, daun lontar dan kertas Eropa  termasuk kesenian-kesenian khas Cirebon yang unik. “Dengan kegiatan Seminar dan Workshop seperti ini saya berharap akan menjadi menjadi acuan dalam penerapan undang-undang kebudayaan untuk melestarikan, memelihara budaya, heritage peninggalan leluhur bisa dilestarikan oleh generasi penerus bangsa yang menjadi kekuatan dan dapat meningkatkan nilai ekonomi untuk kemakmuran rakyat Indonesia,” harap Sultan di akhir  sambutannya.

 

Harry Widianto, Direktur Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permusiuman Kemendikbud dalam sambutannya mengatakan sangat gembira dan memberi penghargaan yang tinggi kepada penyelenggara yang sukses melaksanakan kegiatan  ini. “Kita sadarai bahwa Cirebon ini memang pusat heritage dan cagar budaya. Saya dari kementrian sudah lama berkomunikasi dengan yang berkompeten dengan heritage dan cagar budaya ini. Kalau membicarakan heritage dan cagar budaya, tidak ada habis-habisnya masalah, masalah di Ternate sudah selesaimuncul lagi masalah di Trowulan. Sebenarnya saya menginginkan pelanggar pelestarian  ini bisa di meja hijaukan karena UU nomor 11 tahun 2010 sudah mengatur jenis-jenis pelanggaran dan sanksinya sudah sangat jelas, sayangnya  implementasinya kurang tegas sampai saat ini. Undang-undang  tentang pelestarian kebudayaan sudah 35 tahun diperjuangkan, alhamdulillah tahun ini sudah disyahkan oleh DPR tepatnya pada tanggal 27 April 2017 yaitu Undang-undang Pelestarian Kebudayaan. Saya sangat hargai perjuangan ini, untuk melengkapi UU no 11 tahun 2010,  jadi moment pada hari ini pemerintah pusat sangat mendukung sepenuhnya,” kata Harry Widianto. Menurut Hary, Cagar Budaya banyak menimbulkan masalah karena memang hidup dan tumbuh bersama masyarakat, dan masyarakat itu bisa sepaham dan ada juga yang  tidak sepaham tentang pelestariannya. Perintah UU nomor 11 tahun 2010 tentang pelestarian cagar budaya harus bisa memberikan kesejahteraan masyarakat sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip pelestarian. Namun masalah sering timbul karena  perkembangan kawasan wilayah kota yang sangat  pesat saat ini. Karena kebutuhan tanah yang tinggi  banyak cagar budaya dan situs-situs kawasan budaya menjadi korban demi kepentingan pengembangan kawasan perkotaan.“Kami dari pemerintah pusat hanya akan memberikan ide-ide regulasi untuk mencari titik temu dan kita selalu mencari titik temu agar tercapai win win solution, cagar budaya bisa dilestarikan disisi lain masyarakat yang ingin membangun tetap bisa berjalan,” janjinya. L@r.

 

Floatin Button